
Kondisi getir ini terpaksa dinikmati para perajin spare part Semprong Petromak.
Mereka mengaku harus tetap bertahan ditengah gilasan zaman. Alasannya
hanya satu: untuk menghidupi keluarga. “Kami harus terus bertahan
kendati pengguna Semprong Petromak dari hari ke hari semakin berkurang.
Itu semua demi menghidupi keluarga,” kata Adi Baung, pengerajin Semprong
Petromak saat ditemui dibengkelnya di Kelurahan Abadijaya, Kecamatan
Sukmajaya.
Adi Baung mengakui kalau masa keemasan Semprong Petromak sudah lewat.
Tidak akan terlihat lagi Semprong Petromak menempel indah di dalam
kantor, sekolah, warung makan, dan perumahan. Namun, ia bersyukur masih
banyak pedagang di pasar tradisional menggunakan alat tersebut. “Tinggal
pedagang kaki lima saja yang masih mempercayakan penyinaran lapaknya ke
Semprong Petromak. Itu pun tidak terlalu banyak,” katanya.
Menurut Adi Baung, pancaran pijar putih yang keluar dari lampu Semprong Petromak
memberikan warna kesederhanaan bagi penggunanya. Kendati sesekali
cahaya yang keluar dari lampu tersebut meredup. Tidak membuat susah sang
pemilik. Cukup memompa sedikit minyak dalam tabung, serta mengatur
pentil pencahayaanya. Cahaya pun akan kembali berpijar seperti sedia
kala. “Itu dulu, sekarang kenyataanya Petromak seperti hilang ditelan
bumi,” tuturnya.
Adi Baung berkata, kehidupan para pengerajin Semprong Petromak
bergantung pada pedagang pasar tradisional. Maraknya penggunaan
petromak itu, terang Adi memberikan manfaat nilai ekonomis bagi perajin
petromak. Terutama para penyedia Semprong Petromak. “Dahulu omzetnya
bisa cukup untuk nafkah keluarga. Kini terus merosot nilainya,” katanya.
Terhitung sejak 1980-an usaha pembuatan Semprong Petromak
itu digeluti Adi Baung. Cara pembuatannya pun masih menggunakan pola
sederhana dan tradisionil. Adi mengaku pada masa keemasannya pun harga
Semprong Petromak sangat murah. Satu semprong dihargai Rp100. Dalam
sehari, ia mampu memproduksi 2 sampai 3 kodi sehari. “Sekarang ini satu
kodi pun belum tentu selesai dalam waktu seminggu. Semuanya terus
mengalami kemerosotan,” ucapnya.
Dia menambahkan merosotnya usaha Semprong Petromak ini terjadi sekitar
2004. Saat Wakil Presiden Jusuf Kalla gencar memberlakukan gas sebagai
bahan bakar pengganti minyak tanah. Binsis semprong pun langsung anjlok.
Kendati saat ini, terang Adi, harga Semprong Petromak mengalami
peningkatan jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Satu buah Semprong
Petromak dapat dijual seharga Rp1600 per unit.”Tapi jumlah pesan turun
drastis. Saya tetap bertahan, karena hanya ini keterampilan saya,” ujar
Adi Baung.
Menurutnya, perubahan kebijakan negara tidak hanya melorotkan bisnis
Semprong Petromak. Melainkan ada sisi positifnya. Petromak saat ini
telah berganti wajah. Tak lagi berbahan bakar minyak tanah seperti dulu.
Tetapi menggunakan bahan bakar gas. Sehingga penggunaan kaca Semprong
Petromak pun menjadi lebih bertahan lama. Berbeda, kata Adi, kala
Petromak masih berbahan bakar minyak tanah. Kekuatan kaca Semprong
Petromak saat itu tak mampu menahan tekanan minyak tanah. Sehingga
sering kali pecah. “Ya, ada sisi positif dan negatif lah,” katanya.
Adi berkata, kendati saat ini orderan tak lagi mengalir deras. Maka ia
pun menyiasati bahan baku produksi pembuatan seprong dengan menggunakan
kaca bekas. Ia cukup memotong pecahan kata polos dengan ketebalan dua
milimeter. “Jadi kaca sebagai bahan baku produksi tidak harus yang
baru,” katanya.
Menurutnya, ia tidak lagi bekerja mengejar target produksi. Saat pesanan
datang, Adi baru mulai bekerja. Pecahan kaca, dipotong dalam ukuran
tertentu serta menyiapkan kaleng-kaleng bekas. Semuanya diramu menjadi
suku cadang Semprong Petromak. Dia mengaku bahan bakunya itu harus
dicari dari barang bekas saja. Agar biaya produksinya tak lagi
meningkat. Meskipun dalam beberapa bagian harus dilakukan pemesanan.
”Misalnya untuk lembaran potongan kaleng yang lebarnya sekitar 1
centimeter. Harus dipesan dengan tukang potong,” tandasnya.
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung. Silakan berikan komentarmu...